Oleh: Hari Agung
Surabaya, Respublika – Pemilihan umum (Pemilu) adalah sarana rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan prinsip pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum diselenggarakan sebagai wujud negara bersistem demokrasi, sebagai wujud pelaksanaan yang efektif.
Dari proses demokrasi itu sendiri, untuk memilih pemimpin yang diinginkan rakyat dengan suara terbanyak. Pemilu atau pesta demokrasi rakyat. Pelaksanaan pemilu serentak merupakan momentum yang dinantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat menginginkan perubahan dan pembangunan.
Pemilihan serentak merupakan salah satu cara untuk menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis. Pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017.
Pasal 1 undang-undang ini menyebutkan bahwa pemilihan parlemen yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia secara langsung, terbuka, bebas, rahasia, jujur dan adil. Karena Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar yang memiliki keistimewaan tersendiri yaitu pemilihan langsung dan serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 67/PUU-XIX/2021.
Pada tahun 2024, pemilihan secara langsung dan serentak akan dibagi menjadi dua tahap paling banyak. Pertama, pemilihan serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan DPRD. Kedua, pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dinamika politik Indonesia sudah terasa dalam kehidupan masyarakat bahkan menjelang pemilu tahun 2024. Suasana pesta demokrasi tahun 2024 tentu sangat menarik dan diharapkan merujuk pada UU No. 7 Tahun 2017.
Menurut pasal 167 ayat (6), tahapan pelaksanaan dimulai selambat-lambatnya 20 bulan sebelum hari pemungutan suara. Sebelumnya, KPU menetapkan tahapan dan jadwal Pilkada 2024 dengan PKPU nomor 3 Tahun 2022.
Jika informasi yang diberikan tidak benar, maka akan mempengaruhi kualitas informasi secara keseluruhan. Hal ini dalam pengambilan keputusan dapat menyebabkan kesalahan. Dengan sinkronisasi waktu pelaksanaan, pemungutan suara, dan pelantikan pasangan calon terpilih diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat.
Maka, kita berharap masyarakat menggunakan hak politiknya. Agar pelaksanaan pesta demokrasi ini tidak sia-sia, partisipasi aktif masyarakat merupakan keniscayaan. Partisipasi tidak hanya one man one vote, tetapi juga ikut aktif dalam pengawasan.
Proses tahapan Pilkada 2024 yang diperkirakan akan besar dan melelahkan saat ini sedang berlangsung. Isu terkait pesta demokrasi mulai mewarnai ruang publik. Berbagai reaksi dan tindakan telah terlihat di tengah-tengah kehidupan manusia.
Berdasarkan berbagai kajian dan pengalaman pemantauan bawaslu di tingkat kecamatan, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi masalah akurasi data. Antara lain pertama, data pemilih sangat dinamis dan perlu pemutakhiran secara berkala. Informasi pemilih selalu berubah setiap saat.
Misalnya, pemilih meninggal, pemilih baru genap 17 tahun, status TNI/POLRI pindah, pindah tempat tinggal. Kedua, KPU harus mengolah dan menyinkronkan data dari tiga sumber, yakni DPT, data pemilu lalu, data Dukcapil (DP4), dan data lapangan (hasil coklit). Berdasarkan hasil sinkronisasi tersebut, selanjutnya disusun Daftar Pemilihan Sementara (DPS), Daftar Pemilihan Sementara Perubahan (DPSHP), sebelum diputuskan menjadi Daftar Pemilihan Tetap (DPT), yang digunakan untuk menentukan jumlah pemilih.
Kemudian, kesadaran akan pengelolaan kependudukan masih lemah dan mempengaruhi proses dan hasil pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Selain itu, masalah teknis dan kualifikasi personel mempengaruhi hasil akhir akurasi data pemilih.
Secara teknis, diasumsikan bahwa seluruh warga negara Republik Indonesia yang tentunya telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih ada di mana-mana, baik di dalam maupun di luar negeri, dalam daftar pemilih.
Partisipasi masyarakat sudah pasti diperlukan dalam demokrasi, masyarakat merupakan faktor penting dalam sistem demokrasi. Karena masyarakat itu sendiri adalah subjek pemilihan.
Prof. Miriam Budiardjo mengatakan dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik” bahwa partisipasi politik adalah tindakan seseorang atau sekelompok orang yang secara aktif ikut serta dalam kehidupan politik, termasuk memilih pemimpin. Dalam sejarah pemilu Indonesia, partisipasi pemilih dimaknai sebagai indikator keberhasilan pemilu. Undang-Undang Pemilu No. 2017, Pasal 8, Ayat 1, Ayat 7, Ayat 1 menegaskan bahwa pemilihan umum diadakan dengan adanya partisipasi warga negara.
Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator penting dalam proses pemilu. Tanpa partisipasi masyarakat atau keikutsertaan sebagai pemilih, tidak ada kedaulatan yang nyata dalam pemilu. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut konstitusi”.
Kompleksitas Akurasi Data Pemilih Rawan Potensi Pemilih Zombie
Kegiatan pemantauan dilakukan untuk memenuhi beberapa unsur daftar pemilih yang berkualitas, yaitu akurat, terkini, komprehensif, dan transparan. Akurat adalah setiap informasi yang benar berdasarkan bukti, fakta yang cukup dan dapat membuktikan fakta tersebut benar, up-to-date adalah setiap data dan informasi yang terkini, terkini dan ultra modern.
Komprehensif adalah segala sesuatu yang dapat dilihat, wawasan yang luas sehingga dapat dilihat dari segala sisi, dapat dipahami dengan baik dan menyeluruh yaitu memuat pemilih MS dan mencoret pemilih TMS, dan Transparan adalah menyampaikan pesan dan menerima sanggahan publik.
Kali ini menyangkut pencabutan diskualifikasi (TMS) bahwa anggota keluarga harus dapat menunjukkan surat kematian atau surat kematian kepala desa atau lurah atau nama lain. Hal itu terjadi seiring Komisi Pemilihan Umum (KPU) menanggapi temuan Bawaslu terkait 6 juta lebih pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan metode uji petik terhadap tahapan pencocokan dan penelitian (coklit).
Mengutip keterangan Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan pihaknya meminta Bawaslu menyertakan bukti otentik terkait temuan tersebut. KPU terbuka dalam mendapatkan masukan dan tanggapan masyarakat, termasuk dari Bawaslu. Dalam memberikan masukan dan tanggapan harus disertai dengan bukti otentik sesuai dengan PKPU Nomor7/2022 sebagaiman telah dirubah menjadi PKPUNo. 7 Tahun 2023.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa kerja KPU dalam memutakhirkan data pemilih untuk Pemilu 2024 dilakukan secara de jure. Artinya, perubahan pencatatan pemilih dilakukan sesuai dokumen kependudukan atau dokumen pemerintah lain yang sah. Sehingga, menyebabkan potensi kerawanan yang tak terlepas dari metode de jure yang digunakan dalam proses coklit. Sebagai contoh, terdapat potensi warga yang sudah meninggal dunia terdata sebagai pemilih jika tidak disertai keterangan kematian.
Metode dejure dalam pemutakhiran mewajibkan adanya bukti surat keterangan ini berbeda dengan Pemilu tahun 2019 proses coklit masih bersifat de facto, seperti orang yang sudah meninggal bisa langsung dicoret tanpa perlu surat keterangan kematian dalam proses pencocokan dan penelitian( coklit) yang dilakukan petugas pemutakhiran daftar pemilih( pantarlih) pada Pemilu 2024, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan de jure, bukan lagi de facto seperti Pemilu 2019. Hal ini sebagaimana Pasal 19 PKPUNo. 7 Tahun 2023 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Dan Sistem Informasi Data Pemilih.
Kepastian Hukum Pemutakhiran Data TMS Dalam PKPU No. 7 Tahun 2023
Kepastian hukum merupakan salah satu asas yang harus tercermin dalam muatan peraturan perundang-undangan, dan juga merupakan salah satu tujuan diadakannya PKPU No.2. 7 Tahun 2023 adalah menciptakan kepastian hukum, model alternatif pelaksanaan asas kepastian hukum PKPU.
Juli 2023 adalah cara yang adil bagi TMS untuk memperbarui data pemilih. Dalam hal ini, menjadi upaya hukum yang luar biasa untuk menemukan keadilan dan kebenaran material.
Penjaminan kepastian hukum dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan aspek yang sangat penting dan sine qua non karena merupakan implementasi dari negara hukum yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu dengan judul Bentuk dan Kedaulatan pada Bab I. Pasal 3(1) Indonesia adalah negara hukum.
Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pernyataan Indonesia tentang negara hukum (rechtsstaat) ditempatkan dalam pengertian umum sistem pemerintahan nasional.
Secara khusus, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diubah mengenai jaminan kepastian hukum, juga ditempatkan di bawah judul hak asasi manusia yang disebutkan dalam Pasal 28D (1) Bab XA; setiap orang berhak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Meskipun Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menegaskan jaminan kepastian hukum, namun masih ditemukan tanda-tanda pelayanan yang buruk dalam pelayanan publik Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemutakhiran data pemilih bagi warga negara. ) berupa kelalaian berlarut terhadap pelaksanaan kewajiban hukum, termasuk mengeluarkan keputusan dan / atau mengambil tindakan.
Tentang mencoreet pemilih yang tidak memenuhi syarat (TMS). Kepastian hukum dalam pemilu dapat menciptakan keadilan bagi semua pihak terutama masyarakat.
Kelalaian yang berkepanjangan dari penyelenggara pemilu dalam memenuhi kewajiban hukumnya, termasuk mengeluarkan atau mengumumkan keputusan dan/atau mengambil tindakan, dipicu oleh tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penggunaan wewenang.
tidak ada batasan waktu penggunaan kekuasaan oleh penyelenggara pemilu dalam pelayanan publik. Situasi ini tidak mencerminkan kepastian hukum, dan oleh karena itu yang diinginkan legislator dari politik hukum dalam hal pelayanan publik. Biar warga betul-betul mendapatkan pelayanan yang tepat, terutama dalam hal pemutakhiran data pemilih TMS, sehingga warga bukan lagi objek melainkan subjek dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
Sebenarmya, dalam Undang – undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, telah mencoba untuk melakukan normativisasi terhadap asas kepastian hukum, antara lain di dalam :
Prinsip pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum Bab 2 Pasal 3 yaitu Dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip:
1. mandiri;
2. jujur;
3. adil;
4. berkepastian hukum;
5. tertib;
6. terbuka;
7. proporsional;
8. profesional;
9. akuntabel;
10. efektif; dan
11. efisien.
Tujuan pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum Bab 2 Pasal 4 yaitu Pengaturan Penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk:
• memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
• mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;
• menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;
• memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu; dan
• mewuujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Idealnya formalisasi asas kepastian hukum tidak semata-mata dinyatakan dalam bentuk uraian kategoris kalimat (pernyataan). Namun, itu mengejawantahkannya dalam formulasi kanonik hipotesis (bersyarat). Ini termasuk proposisi pertama, yang menggambarkan situasi dan kondisi sebagai penyebab, dan yang kedua, yang menggambarkan efek yang terjadi sesuai dengan realisasi proposisi yang menggambarkan situasi dan kondisi.
Sehingga, normativisasi terhadap asas kepastian hukum tidak hanya yang bersifat katagoris (pernyataan). Sebab, ada pernyataan yang tertulis dan ada yang tidak tertulis.
Hukum dasar yang tidak tertulis biasa disebut dengan konvensi. Walaupun konvensi tidak tertulis tetapi konvensi dapat mempengaruhi hasil dari sebuah kesepakatan. Konvensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah sebuah kesepakatan atau permufakatan, (terutama mengenai tradisi atau adat, dan lain-lain).
Dalam buku Konvensi Ketatanegaraan oleh Bagir Manan, hukum dasar yang tidak tertulis disebut konvensi. Konvensi berasal dari kata convention yang berarti suatu aturan yang didasarkan pada kebiasaan. Dalam hukum tata negara Indonesia lazim dipergunakan ungkapan ‘kebiasaan ketatanegaraan’ atau ‘adat kenegaraan’
Sedangkan konvensi yang terdapat dalam sistem penyelenggaraan negara merupakan segala aturan-aturan dasar yang tidak tertulis yang hadir serta terpelihara, namun tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang digunakan dalam praktik penyelenggaraan negara serta pengisi kekosongan yang hadir dalam penyelenggaraannya.
Konfensi merupakan hal yang signifikan dalam konteks UUD tidak tertulis, karena memberikan arahan tentang kewajiban, kekuasaan serta prosedur dari institusi-institusi utama negara.
Salah satu Konvensi ketatanegaraan menurut Dicey, Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara. Dan juga Konvensi adalah ketentuan ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary power dilaksanakan.
Adapun ciri-ciri konvensi antara lain, dapat diterima oleh masyarakat serta memandangnya sebagai aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam penyelenggaraan negara, meskipun dibuat secara tidak tertulis. Dan timbulnya konvensi karena kebiasaan- kebiasaan yang terjadi secara berulang kali dalam sebuah penyelenggaraan negara, khususnya dalam pemilu.
Dan pada akhirnya, kinerja KPU dalam memutakhirkan data pemilih untuk Pemilu 2024 yang dilakukan secara de jure. Artinya, perubahan pencatatan pemilih dilakukan sesuai dokumen kependudukan atau dokumen pemerintah lain yang sah. Dapat teranulir oleh kepastian hukum tidak tertulis atau disebut juga konvensi.
Artinya, mencoret yang TMS terkait data orang meninggal melalui pernyataan lisan dari pihak keluarga dan atau kerabat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pencoretan TMS dalam pemutakhiran data pemilih melalui Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan politik dalam penyelenggaraan negara, yakni pemilihan umum. Kemudian, timbul karena kebiasaan yang terulang dan pernah terjadi pada Pemilu tahun 2019 proses coklit masih bersifat de facto. (trs)