Surabaya, Respublika – Kritikan pedas dilontarkan anggota Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya H. Machmud yang memprediksi, Pemkot Surabaya terancam bangkrut karena tak memiliki anggaran akibat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang minim.
Machmud yang juga merupakan elit Partai Demokrat Surabaya mengatakan, DPRD Kota Surabaya menilai semua sektor pendapatan Pemkot Surabaya sedang mengalami kondisi kurang baik.
Ia menjelaskan, saat membaca postur anggaran APBD Surabaya 2024 dengan Tim Anggaran Pemkot Surabaya yang diketuai Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Surabaya Ikhsan beberapa hari lalu, dia menyampaikan jika Pemkot Surabaya pesimistis. Kenapa? Karena dalam uraian Pemkot terbaca target pendapatan tahun 2024 hanya Rp 10.469.809.300.872, padahal tahun 2023 pendapatan Rp 11.364.891.467.475. Artinya, turun Rp 895.082.166.603 atau 7,88 persen.
“Setelah saya cek di dalamnya, ternyata semua turun. Mulai pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, dan pajak bumi bangunan (PBB) semua turun,” ujar Machmud saat dikonfirmasi Senin (31/7/2023) siang.
Menurutnya, ini menunjukkan ada yang salah dalam manajemen keuangan Pemkot Surabaya. Karena di awal-awal uraiannya pemkot sudah menyebut kondisi ekonomi di Surabaya mulai 2021, 2022, dan 2023 itu membaik terus hingga menguat.
Namun ketika uraian angka demi angka, di situ terlihat semua sektor pendapatan ngedrop.
“Inilah menurut saya ada yang salah di sini. Saya sampaikan ke pak Ikhsan di forum itu. Pak Ikhsan sendiri ya bingung dan tak bisa menjawab. Ini kan aneh, eman, ” ujar Machmud.
Di samping itu, lanjut dia, nanti belum kena janji-janji Wali Kota di tengah-tengah perjalanan, pasti ada saja yang diungkap-ungkap yang menimbulkan biaya di luar APBD. Tapi yang dipakai adalah dana APBD.
Misalkan, Senin (24/7/2023) lalu, Wali Kota Eri Cahyadi bertemu dengan 1.476 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru. PPPK ini aslinya menurut gaji kementerian memang di bawah tenaga kontrak atau outsourcing (OS).
“ Tapi Wali Kota Eri Cahyadi menyampaikan nanti gaji PPPK guru akan ditambah, atau lebih tinggi dibanding tenaga kontrak,” terang Machmud.
Yang jadi pertanyaan, kata Machmud, nambah itu dari mana. Uangnya apa? Uang APBD atau uang pribadi. Kalau pakai uang APBD, kondisi keuangan pemkot lagi susah.Buktinya, di internal pemkot sendiri sedang banyak rasionalisasi. Bahkan, anggaran OPD sampai tiga kali mengalami perombakan keuangannya. Belanja-belanjanya juga dikurangi.
“Di satu sisi Wali Kota ngomong seperti itu. Ini uang dari mana? Yang realistis saja, jangan berlebihan. Belum nanti lain-lain yang disampaikan terus menerus, “ungkap politisi Partai Demokrat ini.
Lebih jauh, dia melihat dalam postur anggaran ini tidak cocok. Bahkan setelah mendengarkan semua ini, Tim Anggaran Pemkot Surabaya meminta waktu pembahasan ditunda.
Machmud menegaskan, karena kondisi ekonomi membaik seharusnya semua pendapatan pemkot ikut meningkat. Realitanya cari parkir di mal saja setengah mati susahnya.
Dia juga mengamati mau makan di mal saja antre. Yang jadi pertanyaan? Kenapa pajak restoran pada 2023 mencapai Rp 641 miliar, tapi pada 2024 hanya ditarget Rp 600 miliar. Ini jauh di bawah potensi.
Begitu juga pajak parkir. Kalau parkir di mal kan harus bayar pajak. Pada 2023 ditarget Rp 140, 6 miliar, sedangkan pada 2024 target pajak parkir hanya Rp 109 miliar, kan ngedrop. Turunnya itu lebih dari Rp 30 miliar.
“Ini aneh. Parkir di mal susah, tapi pajaknya turun. Terus kemana larinya uang itu? Pajak itu kan uang kita yang dibayarkan ke pengusaha mal, bukan uang pengusaha yang kita ambil, ” tandas Machmud.
Dia mengaku, juga sudah menyampaikan misalnya pajak restoran, pajak hotel. Pajak hotel juga begitu, pada 2023 Rp 405 miliar, tapi pada 2024 targetnya hanya Rp 381 miliar.
“Kita sampaikan ke pak Ikhsan, kita menginap di hotel atau makan di restoran, misalnya habis Rp 1 juta dan kena Rp 1,1 juta. Yang 10 persen namanya PPN, dan itu semestinya masuk ke pemkot,” beber dia.
Namun, lanjut mantan jurnalis ini, dalam rapat dengan Tim Anggaran Pemkot Surabaya terungkap bahwa Rp 100 ribu kali sekian ribu orang itu dibawa pengusahanya, tidak disetorkan ke pemkot.
“Ini kan berarti pengusaha itu ngembat pajak. Uangnya rakyat yang dibayar lewat pengusaha rumah makan, dibawa dan tidak disetorkan ke pemkot,” ucap dia.
Tapi uniknya, tambah Machmud, pemkot itu baik hati. Orang yang ngembat pajak itu dipanggil, diajak ngobrol, dan diminta untuk mencicil.
“Itu kan maling pajak. Seharusnya diberi contoh, satu ditahan. Pemkot katanya sudah undang BPK, Kejaksaan, tapi mana yang ditahan? Ini sudah jelas-jelas melanggar, tapi dibiarkan. Idealnya ya tidak boleh baik-baik kita,” tegas dia.
Karena dibiarkan dan tak ada tindakan tegas, kata Machmud, akhirnya jadi budaya. Pengusaha tidak apa-apa mengambil uang rakyat, jika toh ketahuan cuma disuruh mencicil.
Dampak lebih jauh rakyat jadi korban, pembangunan tidak ada, uang dipakai pengusaha untuk investasi lagi, dan dikembalikan lagi.
Begitu seterusnya, dan seperti itu miliaran. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, apa yang akan terjadi? Machmud menyatakan tunggu saja kehancurannya. Sekarang ini saja, pemkot sudah terasa dengan akrobat uang APBD di tengah jalan.
Tahu-tahu omong ini, omong itu, kasih sana, kasih sini. Tiba-tiba keluar uang, sementara pendapatan keuangan di dalamnya setengah mati.
Ditanya disaat pendapatan seret, tapi pemkot bisa sering gelar acara, Machmud menyatakan masalah ini juga sempat disinggung oleh anggota Banggar lainnya, Imam Syafi’i, kenapa pertunjukan terus tampil di dalam pemkot dan yang dipakai dana APBD, sementara rakyatnya setengah mati. Pemkot sendiri harus refocusing seperti itu, rasionalisasi anggaran dan lain-lain.
” Inilah yang saya katakan ada yang salah di situ. Kurangilah pesta rakyat itu. Tampil biasa-biasa saja,” pungkasnya. (trs)