Surabaya, newrespublika – Pasca banjir di Surabaya Selasa sore kemarin (24/12/2024) akibat curah hujan tinggi Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD Surabaya memastikan dalam waktu dekat Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) pengendalian dan penanggulangan banjir akan segera tuntas.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Ketua Bapemperda DPRD Kota Surabaya, Hj. Enny Minarsih mengatakan, aturan anyar itu akan mengakomodir sejumlah langkah untuk menanggulangi permasalahan banjir yang berlarut-larut.
“ Seperti mewajibkan 10 persen luas rumah atau gedung kantor berfungsi sebagai area resapan air,” ujar Hj. Enny Minarsih di Surabaya, Rabu (25/12/2024).
Ketua Bapemperda DPRD Surabaya Hj. Enni Minarsih menyebut review bersama dengan Dinas Sumberdaya Air dan Bina Marga (DSDABM) Surabaya telah rampung dilakukan. Setelah ini perda inisiatif DPRD Surabaya itu akan direview di Komisi C. Untuk selanjutnya dilaksanakan paripurna untuk pengesahan.
“Targetnya sebelum tutup tahun 2024 sudah diparipurnakan. Mudah-mudahan tepat waktu,” paparnya.
Dirinya menerangkan, dalam Raperda itu memuat sejumlah kebijakan krusial. Misalnya soal penyusunan Sistem Drainase Daerah. Sistem ini menganut persoalan teknis dan non teknis terkait drainase di seluruh Surabaya.
Enny Minarsih menjelaskan, jaringan drainase yang terdiri dari saluran induk atau primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran lokal, bangunan peresapan, bangunan tampungan beserta sarana pelengkapnya yang berhubungan secara sistemik satu dengan lainnya akan diatur dalam sistem itu.
“ Termasuk aspek non teknis seperti pembiayaan hingga pelibatan masyarakat akan bertemu di sistem itu,” ujar Politisi PKS itu.
Enny Minarsih menambahkan, aturan lain yang krusial adalah penyediaan ruang resapan air. Raperda itu memuat tentang minimal 30 persen ruang terbuka hijau (RTH) Surabaya harus dimanfaatkan untuk daerah resapan. Jika luas RTH Surabaya saat ini sebesar 7.363 hektar maka yang harus menjadi ruang resapan sebesar 2.209 hektar.
Selain RTH, kata Enny Minarsih, Raperda ini juga mengikat pemilik rumah, gedung kantor dan pengembang menyediakan ruang resapan air. Hal ini untuk memastikan ada ruang cukup bagi air hujan kembali ke tanah. Sehingga beban drainase bisa berkurang.
“Di raperda itu disebutkan bahwa 10 persen luas lahan rumah atau kantor untuk area resapan. Namun tidak harus berupa area kosong untuk biopori ya, ada alternatif yang bisa diambil seperti pembuatan kolam tandon, conblock atau sumur resapan,” terang Enni.
Ia kembali menjelaskan, aturan penyediaan ruang resapan juga berlaku untuk pengembang perumahan. Selama ini belum ada kewajiban bagi pengembang untuk menyediakan danau atau boezem guna menampung limpahan air hujan dari kawasan permukimannya. Karena itu sekarang diakomodir dalam raperda yang segera digedok pengesahannya.
“Pengembang dengan luasan paling sedikit 10 hektar, wajib menyediakan ruang resapan minimal 30 persen dari luas lahan keseluruhan. Sistem resapan itu bisa berupa polder, kolam retensi, tandon, waduk sederhana hingga danau. Bisa juga bentuk lain yang berwawasan lingkungan,” ungkap Enny.
Aturan yang disusun di raperda sifatnya harus dijalankan. Karena itu ada sanksi yang diatur disana, seperti pengembang yang tidak memberikan ruang untuk area resapan.
“Mulai dari yang paling ringan berupa peringatan tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan izin hingga pencabutan izin,” pungkasnya. (trs)