IESR: Pemasukan dari Batubara untuk Akselerasi Transisi Energi

Jakarta, Respublika –  Sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar,  PLTU perlu dipensiunkan sebelum tahun 2050 dan diganti sepenuhnya dengan energi terbarukan. Dominasi PLTU di Indonesia di sektor ketenagalistrikan, sebesar 66% bauran listrik perlu secara bertahap dikurangi.

Pemerintah dapat menggunakan momentum naiknya harga batubara acuan (HBA) hingga USD 342/ton pada Juni 2022 dengan menyiapkan mekanisme bertransisi energi.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang rencana pemerintah dan PLN untuk mempertahankan PLTU dengan memanfaatkan clean coal technology seperti PLTU supercritical dan ultra supercritical, merupakan langkah yang tidak tepat.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan, kisaran emisi langsung PLTU di Indonesia adalah 800-1200 kgCO2e/MWh tergantung dari teknologi yang ada. Bahkan penggunaan PLTU teknologi ultra supercritical terbaik tetap menghasilkan emisi langsung >700 kgCO2e/MWh, lebih tinggi dari pembangkit fosil lainnya seperti gas dan tidak berdampak signifikan pada penurunan faktor emisi jaringan nasional yang sudah di angka ~900kgCO2e/MWh.

Strategi dengan menggunakan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) juga tidak akan signifikan mengurangi emisi GRK, dan justru mempunyai investasi yang mahal dengan tingkat keberhasilan yang rendah,”ujarnya, Kamis (30/06/22)

Ia menjelaskan, PLN perlu menghitung pilihan-pilihan teknologi dalam melakukan transisi energi. Teknologi CCS/CCUS sampai hari ini masih cukup mahal. IEA memperkirakan teknologi penangkap karbon ini berbiaya $120 per ton CO2 atau $0,12/kg.

Fabby menerangkan, pemakaian teknologi CCS/CCUS akan menambah biaya pembangkitan listrik tenaga uap secara signifikan, kurang lebih $0,08 – 0,1/kWh. Dengan pertimbangan biaya ini, lebih terjangkau menutup dini PLTU dan menggantikan dengan PLTS plus baterai skala utilitas yang menghasilkan keekonomian yang lebih kompetitif ketimbang opsi PLTU dengan CCS/CCUS.

Tidak hanya itu, kata Fabby, menyoroti penggunaan CCS di dua PLTU di  PetraNova dan Boundary Dam di AS yang belum mampu mengurangi emisi karbon seperti yang didesainkan awalnya, IESR berpendapat kehandalan pemanfaatan CCS pada PLTU belum teruji.

“Ditambah lagi, emisi daur hidup PLTU dengan CCS juga masih  tergolong besar akibat kenaikan penggunaan batubara untuk menyokong operasi CCS pada PLTU,” tutur Fabby Tumiwa.

 

Dirinya menambahkan, demi memenuhi kebutuhan domestik saja, pemerintah kerap menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) yang mempunyai konsekuensi dilematis.

 

Sementara itu Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR menilai, suplai batubara ke pasar domestik dibatasi maksimal harga USD 70/ton. Di sisi lain kebijakan tarif energi terbarukan masih merujuk ke Permen ESDM 50/2017 yang membatasi tarif jual beli energi terbarukan 85% dari BPP.

“Disini salah satu hambatan dalam transisi energi dimana energi terbarukan dipaksa lebih murah dibandingkan BPP yang nilainya didominasi PLTU batubara dengan dukungan regulasi DMO USD 70/ton tadi,” ungkap Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR.

 

Deon mengatakan, kebijakan DMO batubara telah menciptakan lapang tanding yang tidak seimbang untuk energi terbarukan. Jika pemerintah tidak menerapkan DMO maka harga pembangkitan listrik dari PLTU batubara dapat mencapai 14-16 cent/kWh jika harga batubara 324 USD/ton diteruskan.

“Artinya, tanpa dukungan dari regulasi, pembangkitan listrik dari energi terbarukan sudah lebih murah dibandingkan PLTU batubara. Kebijakan DMO membuat keekonomian pembangkit energi terdistorsi karena tidak berdasarkan biaya yang sebenarnya,” pungkas Deon.(trs)