Artikel
Penulis : Fitriyah, S.H. (Mahasiswi Universitas Indonesia)
============================
Hasil pemilu 2024 telah mengeluarkan angka hasilnya pada pemilihan presiden, namun dari hasil tersebut terdapat permasalahan terkait perolehan suara yang mana kubu paslon nomor 1 dan 3 tidak terima terkait perolehan suara yang ada. Dalam hal ini menimbulkan perselihan dan mencuatnya masalah permohonan diskualifikasi paslon nomor 2 oleh pihak paslon nomor 1 dan 3.
Dikutip dari laman berita Kompas.com KPU mengumumkan hasil perolehan kemenangan Paslon nomor 2 yang mendapat suara terbayak dengan . Adanya hasil final perolehan suara tersebut 96.214.691 suara. no 1 dan 3 mendaftar gugatan terkait dugaan kecurangan pada hasil pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya hal ini kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konsitusi mencuat adanya permasalahan terbitnya putusan No. 90/PUU-XXI/2023 tentang tambahan syarat dan batasan usia calon presiden dan wakil presiden atas uji meteril Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu.
Adanya putusan tersebut dinilai publik adanya konflik kepentingan dam menguntungkan satu pasangan capres dan cawapres tertentu. Adanya permasalahan ini membuka kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memperbaiki citranya pasca kasus pelanggaran kode etik, dalam memperoleh kepcercayaan publik atas permasalahan adanya dugaan kecurangan pemilu 2024 tersebut.
Adanya permasalahan menimbulkan pertanyaan apakah MK menjadi sarang konflik kepentingan ?, yang dimana tidak pernah terjadi sebelumnya terkait ketidakpercayaan publik kepada MK.
Dalam konteks sengketa pilpres lembaga yudikatif akan sangat berupaya menunjukkan kepada publik bahwasannya kinerja mereka buka hanya dari persidangan saja melainkan dari proses sebelumnya dengan mementingkan aspek transparansi dan aksesibilitas publik.
Maka dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sangat membutuhkan kepercayaan publik karena hal ini, bagi MK sangat mustahil eksistensi dalam sebuah lembaga peradilan tanpa kepercayaan publik.
Dikutip pada salah satu cuitan @DANAUBERITA mengkutip daari hasil survei Litbang Kompas 18-20 maret 2024 menunjukkan bahwasannya sebanyak 71,2% publik percaya terhadap Mahkamah Konstitusi yang dapat menyelesaikan sengketa hasil pemilu 2024 dengan adil.
Adanya modal kepercayaan masyarakat dari hasil poling tersebut menjadi modal bagi Mahkamah Konstitusi dalam bekerja profesional independen dan objektif guna menghasilkan putusan-putusan terkait sengketa pemilu yang adil.
Mengenai penjelasan diatas, menjadi evaluasi pemerintah dalam permasalahan sengketa hasil pilpres 2024, yang mana timbul kegaduhan dari hasil perolehan hasil suara pada ketiga paslon pilpres 2024, yang alhasil kedua paslon nomor 1 dan 3.
Tidak hanya itu kepercayaan publik juga menurun terhadap lembaga yudikatif hal ini terlihat banyaknya demonstrasi yang terjadi sebelum pemilu dilaksanakan dan setelah pemilu diselenggarakan hal ini dinilai karena pada pemerintahan jokowi yang akan membangun politik dinasti, hal ini juga dikritik oleh para aktivis maupun para akademis yang mana menilai kebijakan jokowi ini sangat mencoreng nilai demokrasi yang ada di Indonesia dan terselenggaranya pemilu 2024 dinilai sebagai politik kotor.
Hal tersebutnya mencuatnya keinginan publik yang menginginkan transparan dalam hasil penyelesaian sengketa kecurangan khususnya pada pilpres 2024. Yang dimana salah satu harapan publik digantungkan pada Mahkamah Konstitusi yang memiliki peranan penting dalam demokrasi di Indonesia sebagai pengawal demokrasi khususnya dalam constitutional review.
Salah satunya dengan mencuatnya tagar #Pemilu2024MenujuIndonesiaMaju yang dimana publik masih ingin memberikan kepercayaan kepada lembaga yudikatif dalam menyelesaikan persoalan ini dan hal ini akan memperbaiki citra demokrasi indonesia.
Hal ini selaras dengan pandang alan ware dalam bukunya yang berjudul Political Parties and Prty Systems, yang menjelaskan bahwasannya dalam fenomena politik ada tentunta memiliki faktor penentu didalamnya yakni sistem kepartaian yang terbagi beberapa faktor yakni (1) faktor sosiologis dalam pendekatan ini perubahan dalam kekuatan sosial akan selalu mendorong terjadinya perubahan diantara beberapa partai politik dan didalam sistem kepartaian itu sendiri.
Disisi lain partai politik dapat dipahami sebagai produk dari kekuatan-kekuatan sosial pada saat terjadinya isu pergolakan sosial dan setelah terselesaikan menghasilkan perubahan dalam partai tersebut, hal ini akan berdampak kecil pada partai atau sistem kepartaian.
(2) faktor kelembagaan berbeda dengan faktor sosiologis, dalam faktor kelembagaan ini seorang institusionalis percaya bahwasannya partai dan sistem kepartaian sangat reponsif terhadap perubahan peraturan politk yang berlangsung, namun seorang institusionalis juga bisa tidak responsif jika peraturan politik yang baru menimbulkan perselisihan dan persaingan antar partai maupun lembaga yang ada.
(3) faktor persaingan, dalam hal ini sangat rasional apabila dalam sebuah perubahan peraturan politik yang dapat merugikan partai dan sistem kepartaian maupun dalam sebuah lembaga institusional tertentu, selayaknya respon mereka akan menolak dan akan menimbulkan gencatan pendapat dalam merespon sebuah kebijakan yang dapat merugikan.
Dapat dilihat dari penjelasan teori alan ware, yakni persoalan sengketa kecurangan pilpres 2024 ini tejadi juga karena faktor sosiologis yang mana terkait kebijakan mengenai aturan tambahan syarat dan batasan usia calon presiden dan wakil presiden ini yang menimbukan kegaduhan pilpres 2024, faktor kelembagaan, adanya kebijakan baru yang telah disahkan mengenai tambahan syarat dan batasan usia calon presiden dan wakil presiden tersebut menuai konflik ditengah masyarakat dan kalangan politisi, dan faktor persaingan adanya kebijakan tersebut yang telah disahkan oleh mahkamah konstitusi menimbulkan keberpihakan dan ketidaktransparannya sebuah institusi pemerintah yang ada, hal ini akan mencuatnya pesaingan dalam sebuah sistem politik maupun sistem kepartaian yang ada.
Maka dalam hal ini pemerintah membentuk sebuah lembaga perwakilan yang mampu berkerja dalam konteks yang sudah ditentukan, namun dilain hari mereka akan berkerja ketidaksesuian konteks yang diberikan. Hal ini akan berdampak kegagalan total dalam sebuah lembaga perwakilan yang ada.
Dalam dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi seyogyanya memutuskan perkara harus mencerminkan prinsip keadilan. Karena berkaitan dengan legistimasi kepercayaan rakyat dalam kehidupan bernegara.
Putusan yang memberikan rasa adil bagi rakyat hanya bisa terimplementasikan apabila hakim konstitusi memiliki sifat negarawan, mengutamakan keadilan substantif bukan menjadi corong Undang-Undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi harus menjunjung tinggi nilai demokrasi yang konstitusional berdasarkan keadilan atas nama Tuhan yang Maha Esa. (trs)