Jakarta, Respublika – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan PT Suryabumi Tunggal Perkasa (PT STP) secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Untuk itu, KPPU memerintahkan PT STP untuk memenuhi kewajiban 20% lahan Plasma apabila mendapatkan lahan pelepasan kawasan hutan atau areal penggunaan lain dari pemerintah, serta menyempurnakan mekanisme transparansi terkait laporan keuangan dan penyusunan rencana kerja bulanan serta evaluasi pelaksanaannya yang melibatkan Koperasi Perkebunan Tri Hampang Bersatu (Koperasi THB).
Putusan tersebut dibacakan KPPU dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan atas Perkara No. 03/KPPU-K/2021, kemarin di Kantor Pusat KPPU Jakarta.
Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU menjelaskan, kasus ini berawal dari laporan dugaan pelanggaran kemitraan pada tanggal 14 April 2021 dalam pelaksanaan kemitraan yang dilakukan oleh PT STP (selaku inti) atas mitranya Koperasi THB (selaku plasma).
“Proses berlanjut hingga tahapan pemeriksaan pendahuluan, dimana diberikan 3 (tiga) kali peringatan tertulis, berikut perintah perbaikan dalam kemitraan. Namun PT STP tidak melaksanakan seluruh perintah perbaikan,” ujar Deswin Nur dalam siaran pers KPPU, Kamis (29/09/22).
Ia menambahkan, mereka hanya melaksanakan salah satu perintah perbaikan, yakni terkait klausula hak dan kewajiban serta bentuk pengembangan dalam perjanjian dengan memberikan penawaran kerja serta penyelenggaraan pelatihan, maupun pembinaan yang melibatkan dinas terkait kepada para anggota Koperasi THB.
“Perintah perbaikan lain seperti kewajiban membangun 20% lahan plasma, transparansi dalam pengelolaan keuangan dan pengelolaan kebun plasma, maupun perbaikan klausula dalam perjanjian tidak dilaksanakan. Kasus pun berlanjut ke tahapan Sidang Majelis Komisi,” terang Deswin Nur.
Dalam persidangan, kata Deswin Nur, Majelis Komisi menemukan bahwa PT STP memiliki kewajiban penguasaan lahan oleh plasma sebesar 948,42 hektar (yakni 20% dari 4.742,14 hektar lahan yang diusahakan PT STP). Namun Koperasi THB baru menerima lahan seluas 790,1 hektar, sehingga masih terdapat kekurangan lahan yang seharusnya diberikan PT STP kepada Koperasi THB sejumlah 158,32 hektar.
Deswin menerangkan, mengacu pada peraturan perundang-undangan, belum dipenuhinya kewajiban pemenuhan 20% pemberian lahan yang diusahakan kepada plasma, dapat dinyatakan sebagai tindakan menguasai secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan terhadap usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah yang menjadi mitra.
Meski demikian, tambah Deswin Nur, diperoleh informasi dalam persidangan bahwa kekurangan tersebut disebabkan karena PT STP belum mendapatkan persetujuan pelepasan lahan kawasan hutan dari pemerintah, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau tanah areal penggunaan lain.
Deswin kembali mengatakan, Majelis Komisi juga menilai bahwa diperlukan komunikasi yang lebih baik dan intensif oleh PT STP kepada Koperasi THB selaku perwakilan plasma baik dalam pelibatan saat penyusunan laporan laba rugi, rencana kerja bulanan yang teratur, atau laporan sisa hasil usaha kepada plasma.
Majelis juga menilai bahwa klausula dalam perjanjian kemitraan telah cukup memberikan kesempatan kepada Plasma untuk mendapatkan pekerjaan dengan memenuhi persyaratan tertentu.
Berdasarkan fakta persidangan, kembali kata Desain Nur, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT STP terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
“Majelis Komisi mempertimbangkan bahwa mengingat kewajiban pemenuhan lahan 20% kepada Plasma belum terpenuhi akibat terkendala proses pelepasan kawasan hutan atau tanah areal penggunaan Lain, PT STP tidak dikenakan denda,” ungkap Deswin Nur.
Sebagai sanksi, tambah Deswin, Majelis Komisi memerintahkan PT STP untuk memenuhi kewajiban 20% lahan plasma apabila mendapatkan lahan pelepasan kawasan hutan atau areal penggunaan lain, serta memerintahkan PT STP untuk menyempurnakan mekanisme transparansi terkait laporan keuangan dan penyusunan rencana kerja bulanan serta evaluasi pelaksanaannya yang melibatkan Koperasi THB.
“Laporan perkembangan pelaksanaan sanksi tersebut diperintahkan untuk disampaikan setiap 6 (enam) bulan kepada KPPU cq. Direktorat Pengawasan Kemitraan, dimulai sejak PT STP menerima Petikan dan Salinan Putusan hingga terlaksananya Putusan,” pungkas Deswin Nur. (trs)