Surabaya, Respublika – Kepala Bidang Penegakan Hukum Kantor Wilayah IV KPPU Surabaya T. Haris Munandar membeberkan laporan yang diterima KPPU pada tahun 2023 masih didominasi oleh persekongkolan tender.
“ Tercatat dari 88 laporan dari masyarakat, 68 diantaranya atau 77 persen terkait dugaan persekongkolan Tender,” ungkap Haris dalam laporan yang diterima, Pokja Pemilihan Barang/Jasa menjadi pihak yang paling sering dilaporkan oleh masyarakat terkait perannya dalam proses tender, Senin (21/08/2023).
Haris menilai, Pokja berperan penting dalam proses pengadaan barang dan jasa.
” Merujuk pada ketentuan Perpres No.16 Tahun 2018 yang telah diubah dengan Perpres No. 12 tahun 2021, Pokja bertanggung jawab atas proses pengadaan barang dan jasa mulai dari pelaksanaan persiapan sampai dengan pelaksanaan pemilihan penyedia seperti melakukan evaluasi dokumen tender penyedia harus dilakukan sesuai dengan tujuan, kebijakan, prinsip dan etika pengadaan barang/jasa, sehingga kompetensi dan kapabilitas Pokja Pemilihan menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi suksesnya proses pengadaan barang/jasa pemerintah serta dapat mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat seperti persekongkolan tender,” jelas Haris.
Salah satu contoh terbaru penegakan hukum yang dilakukan KPPU terhadap dugaan persekongkolan tender yang melibatkan Pokja Pemilihan adalah Putusan Perkara Nomor 18/KPPU-L/2022 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengadaan Pekerjaan Pembangunan Sistem Persinyalan Elektrik Jalur Ganda Kereta Api Lintas Bogor-Cicurug pada Satuan Kerja Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Barat Kementerian Perhubungan Tahun Anggaran 2019-2021 yang diputus oleh Majelis Komisi dalam sidang pembacaan putusan yang dilakukan pada hari Selasa, 15 Agustus 2023 di Kantor KPPU Jakarta.
Ditemukan fakta Pokja Pemilihan (Terlapor V) dianggap ikut serta melakukan persekongkolan vertikal dengan memfasilitasi PT Len Industri (Persero) (Terlapor I) KSO PT Len Railway Systems (Terlapor II) menjadi pemenang yang dengan sengaja tidak melakukan klarifikasi terhadap harga timpang pada beberapa harga satuan dibandingkan dengan harga satuan HPS, serta adanya kesamaan harga satuan penawaran KSO Terlapor I dan Terlapor II dengan harga satuan HPS.
Dalam kesimpulannya, Majelis Komisi akhirnya memutuskan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor V dan Terlapor VI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menjatuhi sanksi berupa denda kepada Terlapor I sebesar Rp 6.058.000.000 (enam miliar lima puluh delapan juta rupiah) dan sebesar Rp 4.915.000.000 (empat miliar sembilan ratus lima belas juta rupiah) kepada Terlapor II.
Sedangkan bagi Pokja Pemilihan (Terlapor V), Majelis Komisi merekomendasikan kepada Komisi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian/Pejabat di instansi Kementerian Perhubungan yang berwenang dimana personil Terlapor V dan Terlapor VI berasal untuk memberikan sanksi hukuman disiplin, karena telah sengaja tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai peraturan yang berlaku.
Belajar dari Putusan tersebut diatas, Haris berharap agar kedepan Pokja dapat meningkatkan kinerjanya menjadi lebih baik.
“KPPU berharap Pokja dapat menjadi bagian penting dalam upaya menciptakan iklim pengadaan barang dan jasa yang sehat, sehingga tidak hanya kompetensi dan kapabilitas yang harus ditingkatkan, namun juga butuh konsistensi dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya,” pungkas Haris. (trs)