Jakarta, Respublika – Pada hari Jumat lalu (06/01/23), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengadakan public hearing mengenai usulan perubahan Permen 2 No.26 tahun 2021 tentang Sistem PLTS Atap yang Terhubung Dengan Jaringan Pemegang IUPTLU.
Dalam kesempatan tersebut, Hendra Iswahyudi, selaku Plh. Direktur Aneka EBT menyampaikan substansi usulan perubahan, diantaranya adalah ditiadakannya batasan kapasitas per pelanggan selama masih memiliki kuota (semula 100%), ditiadakannya biaya kapasitas untuk golongan industri, penghapusan ekspor listrik, serta aturan dimana pelanggan eksisiting harus mengikuti peraturan baru setelah tercapainya payback period (paling lama 10 tahun)
Komunitas Startup Teknologi Energi Bersih (KSTEB) menilai usulan perubahan kebijakan tersebut akan menurunkan minat masyarakat untuk memasang PLTS atap, terutama untuk pasar pelanggan residensial.
Peniadaan skema ekspor listrik akan menurunkan nilai keekonomian PLTS atap dengan jumlah penghematan tagihan listrik menjadi lebih kecil dan masa pengembalian modal (payback period) menjadi lebih panjang.
Survei pasar yang dilakukan oleh IESR di 7 provinsi menunjukkan bahwa mayoritas pelanggan PLTS atap mengharapkan penghematan hingga 50% melalui penggunaan PLTS atap. Hal ini menandakan bahwa aspek ekonomi menjadi salah satu faktor penentu minat masyarakat untuk memasang PLTS atap skala residensial.
Senada dengan hal ini, Amarangga Lubis, anggota KSTEB dan founder dari SolarKita menyatakan, bahwa peniadaan skema ekspor impor akan mengurangi minat calon pelanggan PLTS atap.
“Concern utama dari usulan perubahan ini adalah hilangnya kWh meter ekspor-impor akan merubah minat customer dan berdampak pada total market yang tersedia,” kata Amarangga, dikutip pada Senin (09/01).
Senada dengan SolarKita, Erlangga Bayu Rahmanda, anggota KSTEB sekaligus founder dari BTI Energy, merasa bahwa usulan perubahan Permen ESDM akan mematikan bisnis perusahaan rintisan (startup) PLTS atap secara langsung.
“Adanya perubahan pada permen ESDM tentang PLTS atap akan membunuh startup PLTS atap, terutama seperti BTI Energy yang mayoritas pelanggannya adalah pelanggan residensial,” ujarnya.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang, kondisi ini juga akan berimplikasi negatif pada ekosistem startup PLTS atap di Indonesia dimana kebijakan energi yang tidak suportif akan menurunkan minat calon pengusaha untuk merintis usaha di sektor ini.
KSTEB juga menyayangkan usulan perubahan kebijakan ini karena akan menyebabkan semakin sulitnya pemerintah mencapai target kapasitas PLTS atap di Indonesia sebesar 3.610 MW pada 2025. Sebagai catatatan, per November 2022 kemarin kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia hanya mencapai 77,6 MW atau jauh dari target pemerintah.
Terkait tidak adanya pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100 persen daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, KSTEB juga mempertanyakaan transparansi data kuota per sistem yang hanya dapat diakses oleh PLN. Keterbukaan data sangat penting untuk menghindari adanya upaya penghambatan instalasi PLTS atap yang mengatasnamakan kuota sistem yang sudah penuh.
Dalam keterangannya, Amarangga khawatir akan terjadi penyelewangan sistem apabila data kuota sistem tidak terbuka ke publik. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa definisi teknis kuota sistem perlu diperjelas.
“Saya khawatir kuota sistem akan disesuaikan dengan kebutuhan PLN sebagai utility company,” ungkapnya.
Kekhawatiran juga diungkapkan Erlangga, Kapasitasnya sekarang dibatasi per kuota, itu juga berbahaya, karena yang menentukan kuota adalah pemegang IUPTLU.
“Bisa saja mereka menyatakan kuota full dan baru diperbaharui setiap 5 tahun, jadi selama 5 tahun itu tidak akan ada penambahan PLTS atap,” pungkas Erlangga. (trs)
Caption: Foto Browsing Google