Surabaya, newrespublika – Manajemen Apartemen Bale Hinggil dengan tegas menyatakan, bahwa tidak benar telah menunggak pajak PBB sebesar Rp6 miliar.
Dalam keterangan persnya, Apartemen Bale Hinggil (ABH) bahkan menyatakan isu tersebut tidak berdasarkan fakta. Tidak dipungkiri gelombang covid melumpuhkan sektor keuangan dalam pengelolaan Apartemen Bale Hinggil, ditambah kenaikan Service Charge yang sudah tersosialisasi tidak diterima pada sebagian penghuni yang berdampak tersendatnya cash flow income ABH.
“ Disisi lain terdapat banyak skala prioritas yang harus di prioritaskan dan berdampak pada kesulitanya ABH dalam pembayaran PBB yang harus dibayarkan. Namun dengan memegang teguh prinsip wajib pajak yang prinsipnya wajib membayarkan pajak,” ujar
Gumilang Raka Siwi, Direktur PT Tlatah Gema Anugrah selaku pengelola Apartemen Bale Hinggil di Surabaya, Selasa (24/12/2024).
Maka kami, tegas Gumilang Raka, dari PT TGA sebagai pengelola ABH, dari tahun 2020, yang dimana saat itu masih masa covid-19 dengan ekonomi lumpuh, berusaha membayarkan pajak beserta dendanya dengan cara mencicil minimum Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) perbulan nya sebagai bentuk tanggung jawab kami terhadap wajib pajak.
“ Dan maka dari itu pemberitaan yang mengatasnamakan PT TGA tidak melakukan kewajiban dalam pembayaran pajak tidaklah benar. Dan tudingan tidak tepat ini sangat merugikan developer ABH,” ungkapnya.
Sementara Emeraldo Muhammad Elsyaputera, Direktur PT Tata Kelola Sarana selaku developer ABH menerangkan, proses penerbitan SHMRS pada rumah susun berbeda dngan rumah tapak, jika pada kasus rumah tapak, maka dari sertifikat HGB langsung di split menjadi SHM dan Balik Nama.
“ Jika pada kasus Rumah Susun itu berbeda. Harus bisa menyelesaikan Sertifikat Layak Fungsi atau SLF. Tetapi untuk menuju SLF yang sudah dimulai prosesnya dari 2019 ini, ada prosedur yang cukup panjang dan membutuhkan waktu. Dari SLF ini maka dilanjutkan gambar pertelaan, per meter, per senti, per mili yang harus persisi,” terang Emeraldo.
Dirinya menjelaskan, proses pertelaan ini tidak bisa dilakukan secara parsial dengan pembangunan – pembangunan. Karena harus ada proses pengecekan, tinjau lokasi, dimana gambar pertelaan harus juga di cek dengan kondisi eksisting real bangunan. Ketika ada kondisi berbeda dengan gambar pertelaan, maka harus merevisi. Jadi harus diselesaikan dulu pembangunannya, baru proses pertelaan.
“ Itulah kenapa yang menyebabkan di seluruh rumah susun Indonesia, proses sertifikasi membutuhkan waktu lama. Setelah pertelaan itu terbit, maka dilanjutkan kepada Split atau terbitlah SHMRS. Dari semua proses tersebut, maka membutuhkan waktu yang cukup lama karena prosedur administratif yang harus dilalui,” tutup Emeraldo. (trs)