Surabaya, Respublika – Sebagai ketua Komisi C, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD kota Surabaya, sekaligus sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Baktiono mengaku menyesalkan para wartawan tidak memuat berita berita terkait perjuangan DPRD kota Surabaya terhadap rapat proses penganggaran yang akan diberikan ke masyarakat, baik melalui perubahan anggaran keuangan 2023 maupun untuk tahun anggaran 2022.
“Itu harusnya dimuat, saya mengkritik wartawan, jangan ada alasan karena ini di jaga Pamdal dan tidak diperbolehkan masuk,” ujar Baktiono saat ditemui usai rapat panjang Badan Anggaran DPRD Kota Surabaya, Senin (22/08/22).
Ia menegaskan, Pamdal tidak berwenang untuk menghalangi media, yang berwenang itu adalah pimpinan DPRD Surabaya.
Hal ini sangat penting, karena menurut Baktiono dalam rapat yang berlangsung keras tadi nampak perjuangan Anggota DPRD Surabaya memperjuangkan aspirasi warga terkait permasalahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum selesai sampai rapat ditunda pukul 16.30 WIB.
Baktiono menerangkan, mayoritas anggota banggar yang ada di komisi C mengajukan pertanyaan karena seringnya didatangi oleh warga masyarakat terkait dengan MBR, terkait dengan Rumah Sakit, terkait dengan PPDB, terkait dengan seragam sekolah, terkait dengan beasiswa-beasiswa.
Oleh karena itulah, Baktiono mengusulkan agar Pemerintah membuat persyaratan bagi warga tidak mampu tidak dengan banyak syarat seperti jaman pemerintahan Presiden sebelumnya dengan 14 syarat yang tidak mungkin diterapkan di Surabaya. Karena dengan banyak syarat juga berarti tidak ada niatan baik untuk membantu warga Kota Surabaya.
14 syarat salah satunya adalah warga yang tinggal dirumah berlantai tanah dan berdinding Gedhek (anyaman bambu, red).
“Syarat itu tidak bisa diterapkan di Surabaya, kalau di kota lain barangkali masih bisa. Namanya saja penghasilan, berarti Masyarakat berpenghasilan rendah, penghasilannya lebih rendah dari UMK per bulan,” tegasnya.
Kalau MBR yang saat ini diterapkan adalah untuk orang per orang, tapi Baktiono mengusulkan agar dibuat aturan untuk KBR atau Keluarga Berpenghasilan Rendah dengan angka total penghasilan satu keluarga dibawah 10 juta rupiah.
“Jadi jangan melihat harta benda atau rumah, kalau seperti itu, bisa saja milik orang lain, bisa Kos, Sewa atau bahkan cicilan. Ukurannya adalah dari penghasilan,” terang Baktiono.
Ia menambahkan, bisa saja dia punya mobil atau motor cicilan yang digunakan untuk kerja, seperti ojek atau taksi online. Satu syarat aja, Sistem untuk KBR bisa jadi satu-satunya program bantuan di Indonesia.
Patokan penghasilan untuk bantuan warga MBR, menurut Baktiono adalah usulannya dan telah dilaksanakan sejak era Walikota Tri Risma, tepatnya saat pencanangan 14 persyaratan dari Pemerintah SBY untuk warga yang bisa dikatakan miskin.
“Kalau menuruti aturan waktu itu, di Surabaya pasti tidak akan ada yang menerima bantuan, maka disepakatilah bantuan APBD kota diberikan kepada yang berpenghasilan dibawah UMK,” tuturnya.
Surabaya itu, masih Baktiono, harus bisa menyajikan dan menyampaikan data yang realistis, baik data keberhasilan ataupun data masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“Jangan ada yang ditutup-tutupi. Kalau kita menyajikan data yang sesungguhnya, tidak akan mengurangi kredibilitas Walikota dan Pemkot Surabaya. Toh kinerja Pemkot sudah dapat banyak penghargaan baik secara Nasional maupun Internasional,” kata Baktiono.
Dalam rapat yang tertutup dari media ini, Baktiono secara keras mengaku menentang penempelan stiker bagi warga MBR.
“Saat ini sudah dicetak banyak stiker untuk ditempel di rumah warga MBR, ini saya tentang keras, saya minta untuk tidak ditempelkan,” pungkasnya. (trs)