Surabaya, respublikanews – Salah satu pimpinan DPRD Kota Surabaya dari Partai Gerindra AH. Thony menyindir Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim soal tidak perlunya skripsi bagi mahasiswa lulusan S1 dan D4 Perguruan Tinggi.
“Kebijakan Nadiem Makarim suatu bentuk kemunduran dari dunia intelektual kita terutama mahasiswa,” tegas AH. Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya kepada wartawan di Surabaya, Kamis (14/09/2023).
Ia mengatakan, perguruan tinggi merupakan institusi bergengsi, karena pelajar yang mengenyam pendidikan di tempat itu disebut ‘Mahasiswa’.
“Siswanya saja disebut mahasiswa, mahasiswa itu berarti siswa yang memiliki kemampuan luar biasa,” kata AH. Thony.
Bila skirpsi dan penulisan jurnal publikasi internasional tidak diwajibkan, Thony menggangap suatu “kemunduran”. Sebab perguruan tinggi mengemban Tri Dharma.
Tri Dharma Perguruan Tinggi sebut AH. Thony, bukan sekedar penyematan semata, pasti ada suatu pemikiran mendalam.
“Tiga itu menjadi satu dharma daripada perguruan tinggi, kemudian tulisan skripsi tidak hanya menjadi parameter, tetapi sesungguhnya mengkonstruksi pikiran atau perspektif, pendekatan kemampuan mahasiswa menguasai materi untuk menganalisis masalah dan mencarikan solusinya,” jelas politisi senior Partai Gerindra Surabaya, AH. Thony.
Dirinya menambahkan, penulisan skripsi melatih mahasiswa mengajukan hipotesis terhadap permasalahan yang muncul. Sehingga akan terbiasa mengurai dan menyelesaikan masalah itu.
Lebih lanjut AH. Thony menegaskan, penulisan skripsi merupakan proses mengkontruksi pikiran, kemampuan, pengetahuan yang bermanfaat bagi mahasiswa.
Nah, bila skripsi tidak diwajibkan, sekali lagi ia menegaskan, mengalami suatu kemunduran. Thony mengacu pada presfektif kepentingan nasional, menganalogikan dengan sejarah kebesaran Kerajaan Majapahit.
“Majapahit sebagai negara yang besar kemudian memiliki kemajuan yang luar biasa, disegani dunia, karena kemajuan yang dicapai kala itu,” beber AH. Thony.
Tetapi, tambah AH. Thony, sekarang kita tidak banyak menemukan karya-karya ilmiah zaman Majapahit, menjadikan kita itu buta, bertanya betulkah Majapahit itu sebagai negara besar, negara maju dengan masyarakatnya yang memiliki kecerdasan.
Sebab, menurut legislator Partai Gerindra itu, catatan Majapahit hanya beberapa buku saja seperti Negarakertgama.
“Nah, kemiskinan literasi terhadap temuan-temuan pada waktu dulu menjadikan kita kadang terlena,” tukas AH. Thony.
Ia memaparkan, bila mahasiswa tidak menulis karya ilmiah, tidak dimasukkan dalam jurnal, akhirnya tidak mempunyai dasar mengajukan hak intelektual.
Sebab, kata dia, konsep atau pemahaman itu tidak dituangkan dalam karya tulis skripsi, sebagai tugas akhir mahasiswa.
“Ketika skripsi itu merupakan hal yang luar biasa manfaatnya, maka bisa dimasukkan dalam HAKI, sehingga orang lain, tidak serta merta menjiplak melakukan plagiatisasi terhadap karya itu,” pungkasnya. (trs)