Caption: Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya yang Minim Politisi Perempuan (Foto: Trisna)
Artikel
=======================
Penulis : Fitriyah, S.H (Mahasiswi Universitas Indonesia)
* Pada pemilhan legislatif 2019 di Kota Surabaya terjadi pelampuan kuota 30% keterwakilan perempuan, tetapi pada Tahun 2024 hanya ada 10 kursi atau sekitar 10% dari 50 kursi yang diperebutkan. Masalah mengenai ketimpangan gender di Indonesia masih dapat ditemukan dalam beragam lingkup kehidupan, baik secara sosial maupun politik.
Problem ketimpangan inilah yang akhirnya menyebabkan beragam bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Hal ini masih sering terjadi pada tatanan struktuk lembaga perwakilan yang ada. dengan tuntutan pemenuhan kuota yang ada yakni minimal dengan 30% pada keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya pada lembaga legislatif yang kini menjadi salah satu problem dilema yang penting.
Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias kearah membatasi peran perempuan wanita pada urusan rumah tangga.
Ketentuan UUD 1945 pasal 28 H ayat (2 ) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Ketentuan yuridis tersebut menjadi landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik.
Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidak adilan gender.
Faktor budaya Indonesia yang feodal dan patriarki yang mengungkung perempuan untuk beraktualisasi pada ranah-ranah domestik.
Bentuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan diciptakan secara sistematis dalam jangka waktu lama. Ini adalah fakta sejarah yang menempatkan posisi perempuan menjadi tertinggal di belakang laki-laki karena termarginalkan dan menjadi tidak memiliki pengalaman politik untuk berkontestasi serta menghadirkan diskursus.
Budaya politik yang terbentuk karena absennya kehadiran perempuan menyulitkan praktik politik bagi perempuan dalam mendapat ruang yang sama dengan laki-laki. Atas kondisi tersebut, tidak bisa begitu saja kemudian dengan membuka ruang kontestasi yang sama bagi laki-laki dan perempuan seolah setara tetapi sesungguhnya tidak, berharap hasilnya dalam sekejap terwujud.
Diperlukan upaya-upaya mendorong perempuan mengejar ketertinggalannya, agar perempuan mampu maju dan berkontestasi dalam pemilu membentuk pengalaman politik khas perempuan dan meraih posisi politik dengan diterapkannya feminisme dan politik bagi perempuan melalui kuota gender.
Oleh karena itu, kehadiran perempuan di parlemen diharapkan dapat mengubah gaya politik maskulin semacam itu”. Dan pentingnya perempuan untuk dijadikan panutan. Ada banyak aktivis perempuan yang masuk ke parlemen layak dijadikan sebagai panutan dalam politik.
Maka dalam hal ini fakta representasi poltik perempuan pada jajaran parlemen DPRD Kota Surabaya mengalami penurunan pada tahun 2024 ini, yang dapat ditarik benang merahnya yakni faktor mengenai problem peran politik perempuan dalam menurunnya kuota perempuan hal ini berkaitan dengan feminisme dan politik.
Selaras dengan pendapat Judith Squires & Sandra Kemp dalam Bukunya yang berjudul Feminisms, mengenai perempuan dan politik tidak ada masalah dijika satupadukan kararena dalam hal ini perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki yang bisa masuk kedalam dunia perpolitikan.
Mengenai hal ini menurut Judith menyebutkan ada 3 faktor yang harus diubah dalam sebuah pandangan tidak hanya laki-laki saja yang dapat masuk pada dunia perpolitikan, pertama, melibatkan perempuan dalam perpolitikan, kedua, memberikan ruang bagi perempuan dalam berpikir politik, ketiga, mengkonsep pengertian bahwasannya perempuan memiliki hak sama dalam hal dunia perpolitikan dengan diberikan ruang agar dapat mewakili setiap perempuan yang ada dalam dunia politik.
Mengenai hal ini feminisme telah memberikan kontribusi tiga kali lipat terhadap ilmu politik. Pada konteks teori feminisme dan politik sejalan dengan pembahasan yakni pengaruh feminisme terhadap problem peran politik perempuan dalam menurunya kuota perempuan pada melilihan umum DPRD Kota Surabaya Tahun 2024.
Mengenai hal permasalahan yang terjadi sedikitnya ruang perempuan dalam konteks perempuan yang mana adanya ketimbangan gender ditengah masyarakat dan masih banyaknya pemikiran masyarakat terkait meragukannya wanita dalam dunia perpolitikkan, hal ini menjadi salah satu faktor masih terjadinya ketimpangan.
Padahal perempuan memiliki hak sama dalam hal dunia perpolitikan dengan diberikan ruang agar dapat mewakili setiap perempuan yang ada dalam dunia politik. Mengenai hal ini feminisme telah memberikan kontribusi tiga kali lipat terhadap ilmu politik.
Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah masih kuatnya politik dinasti dan lekatnya budaya masyarakat yang patriarki dengan mendahulukan memilih laki-laki daripada perempuan.
Dalam hal ini menimbulkan problem lain yakni kandidat perempuan belum semuanya konsisten membawa agenda perjuangan perempuan. Pemilih perempuan pada kenyataannya tidak semua memilih kandidat perempuan. Meskipun calegnya dari kaum hawa tidak menjamin untuk dipilih oleh pemilih perempuan.
Pada pemilu tahun 2024 ini ayak dijadikan sebagai momentum konsolidasi perempuan untuk membumikan kesetaraan gender.
Hal itu bisa dimulai dengan mendorong afirmasi aksi minimal 30% keterwakilan perempuan untuk bisa terwujud.
Kemudian, mengembangkan kebijakan sensitif gender dalam penyelenggaraan Pemilu dan meningkatkan keterpilihan perempuan di legislatif serta eksekutif.
Pada 3 November 2023, KPU telah mengumumkan penetapan DCT untuk calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. DCT untuk anggota DPR sebanyak 9.917, meliputi 18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang tersebar di 84 daerah pemilihan.
Sebanyak 37,13 % (3.676) adalah caleg dari kalangan perempuan.
Adapun hal ini diperkuat dengan adanya statistik yang membuktikan bahwa keterwakilan perempuan pada pemilu DPRD Kota Surabaya pada Tahun 2024 dalam pemenuhan kuota perempuan dalam aturan sudah terpenuhi, namun setelah pemilu berakhir dan hasil dari KPU dan BAWASLU ternyata terjadi penurunan terpilihnya anggota perempuan DPRD Kota Surabaya.
Adapun ini merupakan tabel perbandingan nama-nama anggota perempuan legislatif dari tahun 2019 dan 2024 :
Dari pemaparan nama-nama anggota perempuan legislatif perempuan yang ada pada Kota Surabaya terlihat dari perbandingan tahun 2019 dan 2024 bahwasannya berkurangnya anggota yang terpilih pada tahun 2024 ini, hal ini terlihat bahwasannya dalam upaya representasi politik perempuan khususnya pada Pemilu 2024. Tingkat keterpilihan yang hanya 10 % lebih rendah dibanding Pemilu tahun 2019.
Sistem politik di Indonesia masih menunjukkan ketidakadilan dan yang dialami oleh perempuan. Partisipasi dan keterwakilan perempuan belum terefleksikan di dalam posisi kekuasaan dan proses pengambilan keputusan. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan perempuan di dalam politik dan kehidupan publik disebabkan oleh, antara lain:
Pandangan yang menyatakan bahwa politik itu dunianya laki-laki, sehingga perempuan tidak perlu terlibat dalam politik.
Laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga perempuan tidak perlu terlibat di dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan kehidupan.
Perempuan hanyalah pelengkap saja dalam politik, sehingga seringkali ditempatkan pada kedudukan/posisi yang tidak penting.
Sistem hukum di bidang politik masih diskriminatif bagi perempuan. Maka dalam hal ini Terkait feminisme dan politik pada perempuan dalam Pemilu di Indonesia tidak terhenti ketika kebijakan afirmasi dengan 30% keterwakilan perempuan. Namun, timbul persoalan berikutnya mengenai tingkat keterpilihan perempuan yang hanya 10 orang terpilih pada Pemilu 2024.
Rendahnya tingkat keterpilihan perempuan disebabkan oleh berbagai hambatan dalam problem peran politik perempuan pda jajaran legislatif ; yaitu; pertama, jumlah voters turnout yang rendah; kedua, masalah keanggotaan di partai politik yang berbasis kekerabatan;
Ketiga, hubungan antara caleg perempuan dan partai politik yang tidak lagi ideologis, namun lebih ke arah transaksional; keempat, masalah pada politisi (caleg perempuan) itu sendiri;kelima, masalah dalam sistem pemilu dan kepartaian yang tidak ramah perempuan; keenam, calon legislatif perempuan cenderung ditempatkan pada nomor urut 3 dan pada daerah pemilihan yang tidak strategis; dan ketujuh, masih menguatnya budaya patriarki dalam tatanan masyarakat. (**)
Kamis, 04-April-2024