Surabaya, respublikanews – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melakukan berbagai upaya untuk mempercepat pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kota Pahlawan. Terbaru, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Percepatan Penanggulangan Kasus TBC Berbasis Wilayah, yang disebar kepada seluruh jajaran pemkot beserta instansi dan lembaga di Kota Surabaya.
Melalui Surat Edaran bernomor 400.7.8.1 /20186/436.7.2/2023 itu, Wali Kota Eri meminta upaya percepatan pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis di Kota Surabaya harus dilakukan dengan terintegrasi berbasis wilayah. Bahkan, ia juga menyampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan di lingkungan masyarakat.
Salah satu langkah-langkahnya adalah harus ada penyebarluasan informasi yang benar mengenai TBC kepada masyarakat secara masif melalui saluran komunikasi public. Ini penting sebagai upaya perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan TBC melalui pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, Satuan Tugas TBC Kecamatan dan influencer media sosial.
“Kita juga harus mendorong peningkatan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat melalui penerapan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara masif dan berkelanjutan serta mengevaluasi pelaksanaan PHBS dan Germas di masing – masing wilayah,” kata Wali Kota Eri dalam Surat Edarannya tertanggal 18 September 2023.
Selain itu, ia juga meminta penemuan pasien TBC dilakukan secara pasif intensif di fasilitas pelayanan kesehatan melalui kegiatan kolaborasi berupa kegiatan pemeriksaan TBC pada penderita HIV, pemeriksaan TBC pada penderita DM (Diabetes Melitus), dan pemeriksaan TB pada Balita stunting, pra-stunting dan gizi buruk melalui Posyandu Balita. Bahkan, ia meminta Klinik dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) untuk melakukan Memorandum of Understanding (MOU) dan melakukan penjaringan serta penemuan kasus TBC sampai dengan selesai.
“Penemuan pasien TBC secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan masyarakat, didukung oleh peran kader dari Posyandu, Satuan Tugas TBC, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa investigasi kontak minimal 8 orang bagi yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TBC, penemuan di tempat khusus seperti tempat kerja, sekolah, asrama, rumah susun, pondok pesantren, panti asuhan dan panti jompo, dan penemuan TBC pada populasi berisiko, dan tempat penampungan pengungsi dan daerah padat kumuh,” tegasnya.
Di samping itu, ia juga mendorong peningkatan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat melalui penerapan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara masif dan berkelanjutan serta mengevaluasi pelaksanaan PHBS dan Germas di masing – masing wilayah.
Selanjutnya, diperlukan juga pengendalian faktor risiko dengan cara melakukan pemantauan intensif dan pengendalian faktor risiko bagi pasien TBC dan lingkungan sekitar, memberikan nutrisi tambahan untuk pasien TBC dan keluarga pasien terdampak kurang mampu yang rentan tertular TBC, melakukan intervensi perubahan perilaku masyarakat dengan pemberian penyuluhan kepada semua pasien TBC, keluarga, dan masyarakat terdampak terkait pencegahan TBC secara benar.
“Lalu faktor resiko juga bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas rumah tempat tinggal pasien TB, perumahan, dan pemukiman melalui Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan ruang public, dan/atau mengajak dan mendampingi pasien TBC yang mangkir berobat untuk kembali melanjutkan pengobatan sampai dengan sembuh (tuntas),” katanya.
Selain itu, warga diminta untuk mengoptimalkan pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kelompok sasaran berisiko, mulai dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA), kontak serumah dengan pasien paru yang terkonfirmasi bakteriologis, dan kelompok risiko lainnya dengan HIV negatif, seperti pasien immunokompremais lainnya (Pasien yang menjalani pengobatan kanker, pasien yang mendapatkan perawatan dialisis, pasien yang mendapat kortikosteroid jangka panjang, pasien yang sedang persiapan transplantasi organ, dan lain lain), serta Warga Binaan Permasyarakatan (WBP), petugas kesehatan, sekolah berasrama, barak militer, pengguna Narkoba suntik.
Wali Kota Eri juga menjelaskan bahwa dalam mejalani pengobatan, pasien TBC mempunyai akses untuk mendapatkan pendampingan dari keluarga, komunitas, dan tenaga kesehatan, dukungan psikologis, sosial, dan ekonomi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dan non pemerintah untuk memastikan keberlangsungan pengobatan sampai selesai, dan dukungan pekerjaan bagi pasien TBC atau keluarga dari pasien TBC yang kurang mampu, dan perlindungan terhadap stigma dan diskriminasi terkait penyakit yang diderita dengan mengajak semua masyarakat untuk tidak mendiskriminasi orang terduga TBC, pasien TBC baik dari segi pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
“Pengusaha dan pengurus wajib melaksanakan penanggulangan TBC di tempat kerja sebagai upaya keselamatan dan kesehatan kerja yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan kerja,” ujarnya.
Terakhir, Wali Kota Eri meminta warga untuk mengoptimalisasi Tim Percepatan Penanggulangan TBC dan Koalisi Organisasi Profesi (KOPI TBC) dalam tatalaksana TBC sesuai standar. “Kita harus meningkatkan keterlibatan praktisi dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan TBC ini, sehingga kita dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan TBC tersebut,” pungkasnya. (trs)